Senin, 04 Mei 2015

Kolase 7 Jendela Kaca #2

Tanggal 20 Mei 2015 akan menjadi saksi pementasan Kolase 7 Jendela Kaca #2. Semua awak produksi, mulai dari bagian artistik sampai ke bagian musik, sudah siap untuk mendukung pementasan ini. Disaat Kolase 7 Jendela Kaca #2 mendekati saat pementasan, maka yang perlu dipikirkan adalah pengaturan penonton agar suasana pementasan tetap tertib dan semua penonton bisa menyaksikan adegan di panggung dengan nyaman. Inilah saat kota Jogja diguncang kembali oleh teater We eN, Wanita Ngunandika, saat ketika wanita kembali berbicara.

Sifat pementasan yang tidak dipungut biaya tiket masuk, pasti akan menjadikan penonton berjubel untuk antri tiket. Kapasitas tempat duduk yang terbatas, pasti akan menjadi kendala bila penonton melebihi kapasitas. Untuk hal ini, tim produksi harus sudah mulai berpikir bagaimana caranya agar pementasan tetap berlangsung dengan nyaman dalam suasana khas teater dan penonton tetap dapat teratur sesuai kursi yang ditentukan.

  Pendukung pementasan Teater We eN
Pendukung pementasan Teater We eN

Pementasan Kolase 7 Jendela Kaca #2 yang sudah makin dekat, membuat Sutradara harus lebih keras bekerja, karena tidak semua pemain yang tampil adalah wajah lama yang sudah kenyang makan asam garam di panggung. Ada dua naskah yang ditampilkan oleh wajah baru yang masih perlu penggemblengan di pementasan kali ini.

Mereka terdiri dari seorang mahasiswa baru dan seorang artis penyanyi yang tertarik berkecimpung dalam dunia teater. Dari beberapa latihan yang sudah semakin intensif dilakukan, terlihat dua pendatang baru ini sangat serius mendengarkan pelajaran tentang olah seni teater, mulai dari teknik vocal sampai teknik kelenturan badan dalam melakukan peran mereka masing-masing.

Sementara itu pemain yang sudah merupakan muka lama dalam dunia teater tetap ditampilkan dalam pementasan Kolase 7 Jendela Kaca #2 ini.

Pendukung pementasan Teater We eN Pendukung pementasan Teater We eN

Beberapa wakil dari berbagai media masa, baik media tulis maupun media audio visual sudah melakukan pemantauan terhadap proses latihan, dengan cara datang langsung di lokasi pelatihan dan berdialog dengan beberapa pendukung acara. 

Gati Andoko, paling banyak mendapat serbuan pertanyaan dari awak media tersebut, terutama mengenai konsep pementasan kali ini yang tetap menampilkan 7 (tujuh) orang artis wanita, seperti yang dipentaskan pada tahun 2013. Yang berbeda dari tahun 2013 dibanding tahun 2015 adalah naskah yang mulai lebih banyak warna dan menampilkan juga naskah dalam bahasa daerah.

  Gati Andoko sutradara Kolase 7 Jendela Kaca 
Gati Andoko sutradara Kolase 7 Jendela Kaca

Lagu-lagu yang ditampilkan dalam pementasan ini juga adalah lagu baru ciptaan teater WN yang merupakan ciri khas dari pementasan mereka dari tahun ke tahun. Gati, sang sutradara artistik, yang juga seniman musik, sengaja membuat beberapa lagu untuk membuat pementasan ini lebih bermakna dan lebih sesuai dengan situasi panggung. Bukan lagu yang sering didengar, tetapi adalah lagu yang baru diciptakan khusus untuk pementasan ini. 

Sita, salah satu pemeran dalam lakon ini, juga menjadi sasaran wawancara dengan pihak media audio visual. Begitu juga Valen, yang merupakan pendatang baru dalam pementasan ini. Kekompakan grup teater We-eN ini memang sudah terlihat sejak dalam latihan, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Di kota Jogja maupun di pinggir pantai. Semua pemeran diberi gemblengan yang memadai oleh Guru besar teater Jogjakarta, Fajar Suharno. 

Artis penyanyi pendatang baru teater We eN 
Artis penyanyi pendatang baru teater We eN

Hasil gemblengan ini akan disaksikan bersama di Taman Budaya Jogjakarta pada tanggal 20 Mei 2015. Jogja memang tidak pernah berhenti nyaman dan kali ini akan membuat masyarakat Jogja maupun masyarakat luar kota Jogja untuk duduk bersama menikmati sajian "free" dari teater We eN. Taman Budaya akan kembali menjadi saksi kiprah para srikandi Wanita dari teater We eN. Saatnya kita catat tanggal mainnya dan saatnya kita resapi kehidupan melalui pementasan teater We eN yang selalu menampilkan kehidupan sehari-hari yang mungkin luput dari kaca mata kita. Selamat menonton :-)

Kolase 7 Jendela Kaca #2 
Kolase 7 Jendela Kaca #2

Minggu, 03 Mei 2015

Kolase 7 Jendela Kaca


Potret Wanita dalam “7 Jendela Kaca” tampil dengan apik di Taman Budaya Yogyakarta, 11-12 Januari 2013. Selama dua hari para penonton disuguhi dua pementasan yang sama persis, meskipun di sana-sini ada detil yang berbeda. Hari pertama pementasan biasanya bisa juga merupakan gladi resik untuk pementasan hari ke dua, sehingga pada hari ke dua akan muncul beberapa perubahan di beberapa detil adegan. Saat pementasan ini nanti ditampilkan di beberapa kota lainnya, Jakarta, Surabaya dan Bali, maka bisa jadi juga akan muncul detil adegan yang berbeda lagi.
Potret wanita dalam 7 jendela kaca
Potret wanita dalam 7 jendela kaca
Sutradara kawakan Mbah Gati dan mas Jujuk Prabowo telah merombak habis naskah cerpen yang dibawakan secara monolog oleh 7 (tujuh) wanita dalam balutan 7 (tujuh) warna pelangi. Cerpen yang begitu realitistis menampilkan potret wanita dalam keseharian ditulis oleh Labibah ini ditampilkan dalam beberapa warna pelangi. Warna hijau diwakili oleh Rina Chaeri, menceritakan tentang “Perempuan dan Sepotong Wajah“, kisah seorang istri yang masih cinta dengan mantan pacarnya. Warna lainnya menceritakan kisah yang berbeda tetapi tetap dalam kerangka potret wanita dalam rutinitas yang sering terlupakan.
Nila menceritakan perjuangan pahlawan devisa negara, seorang TKI yang berjuang di negeri orang untuk berbakti pada orang tuanya, yang belum tentu bisa menikmati apa yang telah diperjuangkannya. Dimainkan oleh Yeni Eshape (owner Mie Sehati) dengan judul “Ketika Awan Menangkap Rembulan“.
Penulis cerpen sendiri, Labibah, membawakan sosok laki-laki yang tidak puas mempunyai seorang istri saja. Lakon ini dibalut dalam warna UNGU dengan judul “Perempuan Kedua“, Dalam cerita ini Labibah harus memerankan tokoh laki-laki, sehingga sangat kontras dengan kehidupan sehari-harinya yang berkutat dalam dunia pendidikan sebagai dosen di PT Jogja. Para mahasiswanya yang menonton pentas ini tentu tidak salah kalau berkomentar bahwa bu dosen mereka tampil sangat “berbeda” dibanding kesehariannya. Bagi para blogger pasti sangat mengenal sosok Labibah ini. Seorang blogger dari Makassar yang ikut membidani terbentuknya komunitas blogger Makassar yang masih eksis sampai saat ini.
Warna kuning menceritakan seorang wanita cerdas yang jatuh dalam dunia ideal. Oki Lubis, wanita dari tanah seberang ini, memainkan cerita “Fragmen Musim Gugur“. Rumitnya kehidupan seorang perempuan berpendidikan ditampilkan dalam potret yang membuat kita harus berkata bahwa perempuan cerdas ternyata bisa juga bertindak bodoh.
Warna jingga ditampilkan dalam sebuah judul cerita “Bukan Jagal Bukan Jablai“. ditulis oleh Dyah Puspitasari dan dibawakannya sendiri dalam pementasan ini. Bagi yang jeli tentu akan melihat warna ini berbeda karakter penulisannya dibanding warna lainnya. Inilah cerita tentang seorang janda yang kawin beberapa kali.
Sita Ratu dalam pementasan “Kolase dan 7 Jendela kaca” ini membawakan peran sebagai seorang tokoh wanita centil yang akhirnya menikah dengan suami sahabatnya. Gaya centilnya dan teriakannya yang melengking membuat para penonton  yang kehilangan fokus pasti akan kembali fokus dengan adegan di panggung. Cerita “Celana Dalam” ini sebenarnya cocok untuk ditampilkan di akhir cerita atau minimal cerita sebelum monolog terakhir yang mewakili warna Biru dan dibawakan dengan sangat apik oleh Nuri Isnaini dalam judul “Perempuan yang Mencari-cari Dada Ibu“.
Penampilan yang santai dari Nuri Isnaini di cerita-cerita sebelumnya berubah sontak menjadi peran yang begitu serius dan mencekam, Kisah kaum homo dan lesbi dibawakan dengan begitu runtut mengalir oleh Nuri Isnaini. Penonton dibuat terkesima dengan penampilan prima dari warna biru ini. Cerita ini memang sangat cocok ditampilkan di akhir pertunjukan yang memakan waktu sekitar dua jam ini.
Mas Jujuk dan mbah Gati harus berpikir keras kalau ingin membuat pementasan dari Teater “WeeN” ini sedikit lebih singkat, agar bisa lebih dinikmati oleh para penggemar baru dalam dunia teater. Bagi para penikmat seni teater yang sudah biasa menonton teater, maka inilah pementasan yang sangat menghilangkan haus akan dahaga menonton teater yang apik dan mudah dicerna. Inilah pementasan yang merupakan potret wanita dalam kehidupan sehari-hari yang sering luput dari pengamatan kita.
Pentas “Kolase dan 7 Jendela Kaca” mungkin dalam tahun ini akan main lagi di Jakarta, Surabaya atau Bali. Akan sangat baik kalau pentas yang bagus ini sedikit diperpadat, sehingga lebih terasa di hati. Salut buat teman-teman seniman di Jogja, semoga tidak kapok berkesenian. Mas Harno, mas Bagus Jeha, mas Dekha, para pemusik dan teman-teman lain yang begitu intens bergelut di belakang pementasan ini, angkat topi setingi-tingginya.
Salam sehati.
Potret wanita dalam 7 jendela kaca
Potret wanita dalam 7 jendela kaca

Disadur dari : http://eeshape.com
TAYU
Monolog 
(Berbahasa Jawa )



Monolog Cewek Bahasa Jawa masih terasa asing di telinga, bahkan monolog cowok berbahasa Jawapun masih terasa asing. Namun kalau untuk monolog berbahasa Indonesia campur Jawa dan campur-campur yang lain, maka mas Butetlah yang akan muncul kalau dicari di internet. Beliau memang maestro monolog di Indonesia, disamping pelaku monolog lainnya. Butet memang salah satu aktor monolog yang sukses di panggung, di layar kaca maupun di pentas kehidupan. Tawanya yang khas membuat wajahnya selalu terpampang di berbagai macam gambar kehidupan.
Butet dengan ketawa khasnya
Butet dengan ketawa khasnya
Pentas monolog cewek bahasa Jawa ini menjadi makin unik, karena dilakukan di panggung rakyat Taman Kuliner Condongcatur. Para penikmat seni di Jogja akan lebih merasa “nJawani” ketika harus menonton pertunjukan tanpa sekat yang namanya gedung pertunjukan. Mereka bisa bersatu dengan alam sambil menikmati sajian monolog di panggung terbuka. Gati Andoko yang sudah malang melintang di dunia Teater rupanya sangat terobsesi dengan dunia teater Bahasa Jawa versi modern. Diapun menuliskan sebuah naskah khusus untuk pementasan ini. Bukan naskah berbahasa Jawa ala pertunjukan wayang atau ketoprak, tapi bahasa Jawa yang umum dijumpai di pergaulan. Bukan bahasa Jawa yang berlapis-lapis tingkatnya, tetapi bahasa Jawa yang lebih nyaman di kehidupan. Beberapa waktu lalu di Tembi, Gati Andoko pernah diwawancarai wartawan yang menanyakan tentang bahasa Jawa versinya yang terdengar tidak “kromo inggil” dan bahkan kadang muncul pisuhan di beberapa adegan. “Bukankah itu tidak sesuai dengan budaya Jawa yang adiluhung?”, kira-kira begitulah pemikiran sang wartawan. Bahasa Jawa di dunia Gati Andoko memang bukan bahasa sastra Jawa yang sering dipahami oelh awam, tapi adalah bahasa Jawa yang membumi dan memang itulah yang ada di masyarakat. Masyarakat Surabaya atau juga masyarakat dimanapun bisa mengucapkan sebuah makian yang membuat tertawa pendengarnya, tapi bisa juga menimbulkan kemarahan dari pendengarnya. Kata “Jancuk”, “Bajingan” atau “Asu” bukan sesuatu yang baru dan bukan sesuatu yang membuat merah pendengarnya dalam kehidupan nyata, bukan pula sesuatu yang tabu diucapkan. Kata itu bisa meluncur dengan kemarahan berapi-api atau bisa juga muncul dalam derai tawa dan tepukan di bahu diselingi senyum lebar pelakunya. Mereka larut dalam kata-kata “tabu” itu dengan penuh ceria dan penuh persahabatan padahal di masyarakat umum, kata itu kadang tabu diucapkan. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang melihat potensi masyarakat seni di Jogja rupanya berniat mementaskan karya Gati Andoko berupa monolog cewek bahasa Jawa ini dalam sebuah agenda kegiatan tahunannya. Harapan mereka tentu makin munculnya gelora seni di kalangan seniman Jogja, utamanya wanita yang sampai saat ini masih perlu ditingkatkan kontribusi keseniannya.
Yeni Eshape dari Teater WN
Yeni Eshape dari Teater WN
Teater Wanito ngunandiko (We-En) yang diprakarsai oleh Yeni Eshape dan teman-teman seniman lainnya rupanya dipilih Gati sebagai penyampai pesannya di dunia seni monolog. Ini memang bukan monolog biasa yang sering menjadi tayangan dimanapun pentas seni ditayangkan. mas “Bhe” selaku produser pentas ini membuat karya berkelas ini menjadi tontonan tak berbayar. Nyawa pentas ini jadi mirip dengan pentas “Kali” dari mas Bambang NK di Cangkringan. Bukan mencari sesuatu untuk kehidupan para pemrakarsa seni panggung, tetapi bersama menciptakan suasana seni kehidupan yang bisa saling mengisi hati pelakon seni maupun penikmat seni. “Ini pentas gratis, tanpa dipungut biaya. Tujuan pentas ini diadakan gratis dan dilakukan langsung di depan masyarakat Sleman adalah untuk memancing masyarakat Jogja lainnya yang ada di Bantul, Wates atau Wonosari untuk memunculkan artis wanita yang bisa berbicara tentang seni di kehidupan”, ucap mas “Bhe” sang produser acara. Angin malam akan menemani para penonton di panggung Taman Kuliner Condongcatur pada hari Minggu, 28 September 2014 jam 19:00 wib. Yeni Eshape akan tampil di depan mereka membawakan Monolog berjudul “TAYU”. Tidak perlu dibandingkan dengan Butet sang maestro Monolog Jogja, tapi bisa dicatat sebagai bentuk monolog yang lain dari Jogja. Selamat pentas dan selamat menikmati pentas Monolog Cewek Bahasa Jawa dari karya Gati Andoko. Semoga ada yang berdesir dalam dada kita, apapun makna desir itu.
"TAYU" pentas Monolog Jawa dari Yeni Eshape
“TAYU” pentas Monolog Jawa dari Yeni Eshape

Disadur dari : http://eeshape.com

Selasa, 07 April 2015

Tentang Kami



Teater We-eN lahir di Yogyakarta, 24 Oktober 2012. We-eN adalah kepanjangan dari Wanito Ngunandiko yang berarti “Wanita Berbicara”. Nama Wanito Ngunandiko sendiri tercetus dari seorang seniman teater asal Yogyakarta, Jujuk Prabowo. Pemberian nama tersebut diilhami dari rencana pementasan perdana Teater We-eN saat itu berupa monolog yang dilakukan oleh 7 wanita pencinta teater.
Ide pentas perdana monolog yang khusus dimainkan oleh 7 wanita muncul dari Gati Andoko sebagai sutradara. Hingga disepakati, pementasan perdana Teater We-eN tersebut diberi judul ‘Kolase dan 7 Jendela Kaca’. Yeni Eshape sebagai produser kali ini turut menjajal kemampuannya di atas panggung memainkan sebuah lakon bersama keenam pemain perempuan lainnya yang masing-masing sebenarnya juga sudah lama vakum di dunia perteateran negeri ini dikarenakan kesibukannya baik di keluarga, masyarakat pada umumnya dan karier mereka masing-masing. Dan akhirnya mereka berhasil dengan sukses melakonkan perannya masing-masing tersebut dalam pentas perdana Teater We-eN monolog dengan judul ‘Kolase dan 7 Jendela Kaca’ pada tanggal 11-12 Januari 2013 di gedung societet, Taman Budaya Yogyakarta (TBY).
Wanito, yang artinya perempuan memang makhluk sangat istimewa. Bermacam-macam sisi kehidupan seorang perempuan selalu menarik untuk diperbincangkan, menarik untuk diangkat dalam sebuah cerita kehidupan dan patut disimak dalam sebuah pagelaran kisah panggung sandiwara, panggung pertunjukan bahkan panggung seni teater dan semacamnya. Perempuan bisa tangguh. Bisa pula rapuh. Bisa saja setia. Bisa pula membagi cinta dengan cara jadi perempuan kedua.
Ngunandiko, artinya “berbicara”, menunjukkan bahwa kelompok teater ini akan menempatkan wanita sebagai pelaku utama dalam ide-idenya dengan ‘dunia wanita’ sebagai topik pembahasaannya. Pembicaraan tentang wanita oleh wanita merupakan isu yang menarik sekaligus selalu relevan dengan perkembangan zaman. Pementasan atau pembahasan tentang dunia wanita yang dilakukan oleh Teater We-eN diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan harkat kewanitaan, dan kemanusiaan pada umumnya. Untuk itu pementasan teater ini nantinya diharapakan mendapatkan dukungan dari semua pihak, khususnya instansi, lembaga, maupun komunitas terkait.